Kesejahteraan Sosial, Sebuah Refleksi


 Help People to Help Themelves by Head, Hands and Heart… 

Sebaris kalimat yang bukan hanya slogan belaka, melainkan atas dasar keyakinan dan kemauan yang kuat menolong sesama. Semakin lama mempelajari ilmu Kessos, semakin merasa tepat berada di sini dan mengerti akan urgensi seorang muslim mempelajari, menguasai, dan terjun di bidang ini. Ilmu tentang empowering, ilmu dunia-akhirat kata seorang teman (amiin). Profesi Pekerja Sosial Profesional atau biasa disebut Pekerja Sosial (PS) memang belum lazim di negara sedang berkembang seperti Indonesia. Namun, melihat kondisi rakyat (baca: ummat) yang sedemikian memprihatinkan, memang dibutuhkan para prakstisi yang mampu mengayomi dan terjun langsung ke masyarakat (tataran akar-rumput) dengan memegang nilai-nilai yang benar (kebenaran yang dimaksud adalah kebenaran hakiki, bukan kebenaran relatif).

Memang, mahasiswa S1 Kessos belum dididik menjadi ahli dalam suatu bidang. Kami diarahkan untuk menjadi Generalist Practitioner yang menguasai berbagai bidang serta mampu membumikan (menerapkan) ilmu yang kami dapat secara konkret hingga kami dapat menentukan fokus yang kami minati nanti. Hal ini bukan mendangkalkan perspektif ilmu Kessos itu sendiri, melainkan menanamkan bahwa masalah sosial itu hendaknya dilihat secara utuh dari berbagai aspek (mikro, mezzo, makro) karena untuk mengatasinya, diperlukan keterlibatan kerjasama dari segenap elemen di dalam lingkup tersebut.  Di samping itu, kami memang lebih berpegang pada paradigma bottom up ketimbang top down seperti yang saya sebutkan di awal mengenai empowering (pemberdayaan) yang melepaskan seseorang dari keadaan disfungsi menjadi berfungsi kembali.

Kessos sendiri memiliki tiga tingkatan berdasarkan ruang lingkupnya yang masing-masing memiliki tantangan tersendiri. Pertama, lingkup mikro yaitu individu sebagai ranah yang paling saya minati di mana seorang PS harus memahami manusia secara holistik (biopsikososial) serta memiliki empati, membangun rapport, tidak men-judge, menjaga kerahasiaan dsb yang mana konsepnya mirip dengan da’wah fardhiyah.

Kedua adalah lingkup mezzo yang mencakup keluarga, komunitas atau pun organisasi, di mana seorang PS berperan sebagai community worker yang mampu membangun trust dengan masyarakat hingga memberdayakan potensi yang mereka miliki untuk memenuhi kebutuhan atau mengatasi masalah mereka sendiri, juga sebagai case manager, enabler, educator, family case worker, manajer dari suatu Human Service Organization (HSO), mengerti akan Corporete Social Responsibilities (CSR) dsb. Kemmapuan ini dapat diterapkan manakala kita membina dan mengelola kholaqoh.

Ketiga, lingkup makro (yang sedang berusaha kusenangi dan kupelajari dengan serius) di mana seorang PS harus memahami teori-teori yang mendasari suatu fenomena sosial, perspektif ekonomi-politik, masalah kemiskinan, dasar pembangunan sosial, dampak sosial pembangunan, analisis masalah sosial, perundang-undangan sosial hingga kita punya berprofesi sebagai social planner atau berwewenang untuk membuat kebijakan dan perencanaan sosial.  Selain itu, kami juga punya peran sebagai advocate yang melakukan advokasi bagi mereka yang tidak dipenuhi hak-haknya dan tidak mampu membela dirnya sendiri.

Ada tiga tools yang diperlukan seorang PS yaitu knowledge, skill, dan value yang kalau boleh, saya sejajarkan dengan ilmu, amal dan iman. Hanya saja, satu hal yang membuat saya tersandung adalah paradigma akan value atau value free. pada kuliah Analisis Masalah Sosial terakhir, dosen saya memberikan satu pandangan baru mengenai bebas nilai. beliau berkata, “There is no such thing like a velue free” karena kita sudah ditanamkan nilai dan norma sejak kita masih kecil yang kita gunakan sebagai kacamata dalam memangdang hidup sehingga kita tak mungkin melepaskannya ketika menghadapi satu persoalan. yang ada adalah sikap objektif yaitu tidak memaksakan nilai yang kita anut kepada orang lain (biasanya klien) serta menerima manakala ada nilai yang lebih rasional dari nilai yang kita anut.

Menurut saya, pandangan tersebut lebih baik daripada tidak ada nilai sama sekali sekaligus tantangan bagi muslimin untuk benar-benar memahami syumulyatul Islam berikut pengamalannya dengan bahasa dan rasional yang dapat dimengerti oleh objek da’wah serta mengaitkannya dengan referensi-referensi ilmiah yang diterima secara universal. dengan kata lain, sembari terus mengembangkan keilmuan Islam, kita harus bersabar “menggunakan senjata musuh” hingga mempunyai otoritas secara akademis.

Semoga tulisan ini semakin membuka wawasan pembaca tentang Kesejahteraan Sosial, baik sebagai ilmu, profesi dan bidang yang keberadaannya sangat penting dalam masyarakat. ummat.

Jikalau bukan kita (muslimin) yang menempati lahan tersebut, masih banyak “pihak” yang dengan senang hati mengisi pos-pos penting dalam pembangunan peradaban ini. Tentunya lengkap dengan nilai-nilai yang mereka bawa dan hendak lembagakan dalam masyarakat. 

Wallahu a’lam

 

“Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi sesama manusia”

(HR Thabrani- Hasan)

Tinggalkan komentar