Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia
Ibu kita Kartini
Putri jauhari
Putri yang berjasa
Se Indonesia
Ibu kita Kartini
Putri yang suci
Putri yang merdeka
Cita-citanya
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendeka kaum ibu
Se-Indonesia
Ibu kita Kartini
Penyuluh budi
Penyuluh bangsanya
Karena cintanya
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia
Lagu yang pasti sudah sangat melekat pada memori kita sejak duduk di bangku sekolah dasar, tentang sosok seorang pejuang yang menggaungkan emansipasi perempuan (karena kata “wanita” dinilai merendahkan perempuan, berasal dari wani ditoto). Namun benarkah kenyataan bahwa perjuangannya akan nasib kaum hawa ini patut disejajarkan dengan “jasa” para feminis? Era Muslim Digest Edisi Koleksi 10 The Untold History (2) : Konspirasi Penggelapan Sejarah di Indonesia mengenai sejarah Indonesia dan Islam. Tulisan ini memberikan gambaran yang lebih arif tentang sosok ibu kita ini. Semoga pembaca sadar bahwa Islam-lah yang sejatinya membawa kita dari kegelapan menuju cahaya…
R. A. Kartini dan Jaringan Yahudi
Kehidupan Raden Ajeng Kartini merupakan kisah penuh tragedi. Bukan semata hidup kartini yang demikian, namun sejarah yang ditulis oleh penguasa telah menunggangi pemikiran-pemikiran untuk maksud yang sama sekali bertentangan dengan cita-cita murni Kartini. Kini kita lihat, betapa emansipasi dan feminisme dijadikan berhala oleh banyak perempuan Indonesia dengan mengatasnamakan Kartini. Padahal bukan itu yang hendak dicapai Kartini.
Kartini berasal dari keluarga bangsawan Jawa, ayahnya RMAA Sosroningrat, merupakan Bupati Jepara. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara, kandung dan tiri, sekaligus sebagai perempuan tertua. Keluarga Kartini adalah keluarga yang cerdas. Sang kakek, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, menjadi bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini bernama Sosrokartono, mampu menguasai 26 bahasa yang terdiri dari 17 bahasa neger-negeri Timur dan 9 bahasa Barat. Kala itu, anak-anak perempuan di jawa tidak ada yang disekolahkan tinggi-tinggi. Menurut tradisi, buat apa perempuan bersekolah tinggi-tinggi, toh nantinya akan ke dapur jua. Sebab itu, walau termasuk ningrat, sekolah formal Kartini hanya sampai tingkat Sekolah Rendah. Walau demikian, Kartini termasuk anak yang cerdas dan berani. Dalam usia remaja, dia tidak ragu memberi kritik dan saran kepada penguasa Hindia Belanda, salah satunya menuntut mereka agar kaum pribumi bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Kartini dan Islam
Sebagai anak dari keluarga bangsawan Jawa yang memeluk Islam, sudah menjadi kebiasaan untuk memanggil guru ngaji ke rumah. Namun yang namanya ‘ngaji’ kala itu ternyata hanya menghafal surat-surat al-Qur’an dalam bahasa Arab dan tidak disertai dengan terjemahannya. Kartini tidak bisa menerima hal tersebut. Dia menanyakan makna dari ayat-ayat yang diajarkan. Bukan jawaban yang didapat, sang guru ngaji malah memarahinya.
Kartini sedih. Kepada sahabatnya, Stella, Kartini menulis surat, 6 November 1899:
“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan padaku apa artinya. Tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?”
Kepada sahabat lainnya, E.E. Abendanon, Kartini menulis surat, 15 Agustur 1902 :
“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Qur’an, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.”
Dahaga Kartini mengenai Islam sedikit mulai terpuasi saat berkenalan dengan KH. Mohammad Soleh bin Umar yang sering disebut Kyai Sholeh Darat. Suatu hari, ketika Kartini bertamu ke rumah pamannya, seorang Bupati di Demak, Pangeran Ario Hadiningrat, waktu itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian tersebut bersama para raden ayu yang lain dari balik hijab. Saat itu Kyai Sholeh Darat, ulama besar asal Semarang, tengah menguraikan tafsir Al-Fatihah. Kartini sangat tertarik pada materi tersebut. Usai pengajian, Kartini mendesak pamannya agar mau menemaninya untuk menemui Kyai tersebut. Saat itu terjadi dialog antara Kartini dengan Kyai Sholeh Darat, seperti yang ditulis Ibu Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat :
“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”
Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.
“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”, Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.
“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Qur’an yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Qur’an itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Sejak pertemuan itu, Kyai Sholeh tergugah untuk menterjemahkan Quran ke dalam bahasa Jawa. Di hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh menghadiahkan kepadanya terjemahan Quran (Faizur Rohman Fit Tafsiril Quran), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Sejak itu dimulailah era pembelajaran Kartini terhadap Islam. Namun sayang, sebelum merampungkan semua tafsir Qur’annya, Kyai Sholeh Darat meninggal dunia. Kartini merasa sangat kehilangan gurunya ini.
Setelah Kartini mengenal Islam sikapnya terhadap Barat mulai berubah :
“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-ha yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?”
[Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902]
Kartini juga menentang semua praktik kristenisasi di Hindia Belanda :
“Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? … Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkritstenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?”
[Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903]
Bahkan Kartini bertekad untuk memenuhi panggilan surat Al-Baqarah ayat 1993, berupaya untuk memperbaiki citra Islam (yang) selalu dijadikan bulan-bulanan dan fitnah. Dengan bahasa halus Kartini menyatakan :
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat ummat agama lain memandang agama Islam patut disukai.”
[Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]
Walau belum utuh dipelajari Kartini, perempuan tersebut langsung menerima ajaran-ajaran Islam yang diketahuinya. Salah satunya mengenai poligami. Awalnya Kartini menolak keras, namun setelah mempelajari Islam, Kartini akhirnya menerima poligami bahkan bersedia menjadi isteri kedua. Ada sebuah ayat yang membekas di hati Kartini yakni QS Al-Baqarah ayat 257 yang menyatakan jika Allah-lah yang membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur), sebab itu dia memberi judul kumpulan tulisannya mengutip ayat tersebut. Hanya saja, karena ditulis dalam bahasa Belanda “Door Duisternis Tot Licht”, maka oleh Armijn Pane, seorang Kristen, diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Suatu perumpamaan yang kurang tepat.
Diam-diam, Hindia Belanda, mengirim orang-orang Yahudi dan Nasrani kepada Kartini agar mampu mengarahkannya agar tidak menjadi kritis, apalagi tumbuh menjadi pemimpin umat. Ini yang tidak diinginkan Belanda. Orang-orang ini adalah :
- J.H. Abendanon dan E.E. Abendanon (Ny. Abendanon)
Dia tiba di Hindia Belanda pada 1900 dengan tugas melaksanakan Politik Etis. Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda ini sahabat dekat Snouck Hurgronje. Bersama Hurgronje, Abendanon melancarkan Politik Asosiasi, agar generasi muda Islam mengidentifikasikan dirinya dengan Barat. Menurut mereka, umat Islam-lah yang paling keras permusuhannya terhadap penjajahan. Sebab itu, generasi muda pribumu harus diBaratkan, yang harus dimulai dari kalangan ningrat. Hurgronje menyarankan Abendanon untuk mendekati Kartini. Dengan misi itulah Abendanon membina hubungan baik dengan Kartini.
Seorang pendeta sahabat Abendanon yang diperkenalkan kepada Kartini sewaktu Kartini diundang ke Batavia.
Seorang tangan kanan Abendanon yang disusupkan ke Jepara sebagai guru bahasa Perancis Kartini. Dia tidak dibayar asalkan bisa berhubungan dekat dengan Kartini.
- Stella (Estelle Zeehandelaar)
Seorang perempuan Yahudi Belanda yang berhaluan feminis militan. Dia bersahabat dengan tokoh sosialis, Ir. Van Kol, wakil ketua SDAQ (Partai Sosialis Belanda) di Tweede Kamer (Parlemen).
- Nellie Van Kol (Ny. Van Kol)
Seorang penulis humanisme progresif yang paling berperan dalam mendangkalkan aqidah Kartini. Awalnya, dia ingin mengkristenkan Kartini, namun gagal secara formal. Walau demikian banyak pemikiran Kristen yang sedikit banyak mempengaruhi Kartini, seperti suratnya tertanggal 12 Juli 1902 kepada Ny. Ovink Soer:
“Malaikat yang baik beterbangan di sekeliling saya dan Bapak yang ada di langit membantu saya dalam perjuangan saya dengan bapakku yang ada di dunia ini.” Atau “Nonya Van Kol banyak menceritakan kepada kami tentang Yesus yang tuan muliakan itu, tentang rasul-rasul Petrus dan Paulus, dan kami senang mendengar semua itu.”
[Surat kepada Dr. Adriani, 5 Juli 1902]. (fz)
Baca juga…
0.000000
0.000000