​Berbahagialah Bu


“Menjadi seorang ibu itu lompatannya besar. Jauh lebih dari saat menikah. Dunia serasa berubah. Itu yang kurasa.” Ujarku kepada seorang kawan.

Tak pernah kubayangkan ada sensasi sedemikian ketika ada sesosok manusia tumbuh di dalam diriku. Yang menyatu, bergantung padaku dengan izinNya. Jantungnya berdetak seiring jantungku. Rasaku adalah rasanya. Hidupku adalah hidupnya. Hingga kami bertemu saat ia keluar dari tubuhku. Menangis keras menyongsong dunia. Lamat-lamat kulantunkan adzan pada pertemuan pertama kami yang amat singkat itu. Saat itu, hatiku kian tertambat padanya. Nuun Khairana Khatulistiwa.
Menjadi seorang ibu. Tidak hanya sekedar mengubah status dan rutinitas. Jelas berkurang waktu tidurku. Tapi bukan itu. Ada yang berubah tentang dunia. Padahal jutaan wanita mengalaminya. 

Ada khawatir yang lebih dari biasanya. 

Ada rindu yang lebih dari biasanya.

Ada syukur yang lebih dari biasanya.

Ada cinta.

Ada banyak lagi yang tak terlukis kata.

Rasanya ingin berkata pada dunia, “Hei, aku jadi seorang ibu!”
Menjadi seorang ibu membuatku semakin haus ilmu. Bagaimana tidak? Apa-apa tentang manusia baru yang tadinya hanya menjadi perhatian sekilas, kini menjadi prioritas. Setiap perubahan selalu menuntunku belajar. Ini lebih dari sekedar beradaptasi dengan luka bekas operasi, batuk-batuk, puting lecet, payudara bengkak, badan nyeri pegal lelah, baju selalu basah di pekan-pekan pertama. Kini ada seorang manusia yang hidupnya bersandar kepadaku dengan izinNya. Yang membutuhkan ketenangan, kesabaran, kebijaksanaan, kebanggaan, ketulusan, penerimaanku sebagai seorang ibu. Yang masa depannya menjadi tanggung jawabku. Yang akhiratku diperjuangkan melalui hidupnya.
Menjadi seorang ibu membuatku semakin sering merenung. Tentang berbagai peran amanahku, baik di ranah publik maupun domestik. Tentang pertanggung jawabannya kelak di hadapNya. Tentang hisab. Tentang kematian. Aku semakin memperhitungkan tiap amanah publik yang kan kuambil. Bagaimana niatku? Apakah murni untuk menjadi manusia bermanfaat atau masih tergoda dengan kosmetik fana berupa harta, tahta dan pandangan mata? Dalam sujud kupanjatkan doa, memohon petunjuk dan penguatan akan tiap pilihan. Bukan tak pernah aku merasa lelah, jenuh, malas, minder, lemah, diabaikan, tak berdaya. Terjebak media sosial yang hanya menunjukkan hal-hal ideal. Jadi baper, lupa bersyukur. Padahal jika sedikit lebih arif, dengan iman di dada, aku masih jauh lebih beruntung dari banyak insan di luar sana. Ada kalanya ingin keluar, menunjukkan pada dunia bahwa aku bisa. Tapi untuk apa? Apakah yang kudapat sebanding dengan apa yang kutinggal? Sedangkan Rabbku telah menitipkan sebuah amanah besar yang adalah bagian dari diriku sendiri. Yang hidupnya berasal dari hidupku.
Lantas, sebuah tulisan menyentuhku. Tulisan yang kurang lebih sama dengan tulisan-tulisan lain tentang peran ibu tetapi ada rasa berbeda yang Ia hadirkan. “Pulanglah ke rumah wahai Ibu”, begitu kira-kira intinya. Tentang pentingnya rasa bangga menjadi seorang ibu. Yang lahir dari paradigma tentang makna seorang ibu bagi buah hatinya, bagi peradaban. Yang meskipun hampir tak kurasa ketika meraba masa lalu. Yang semakin kumaknai seiring waktu. Aku bertekad hendak menjadi ibu sejati. Itulah sebab kelak aku ingin dipanggil “ibu” oleh buah hatiku.
Pun, aku teringat cerita salah seorang ibu. Beliau seorang konsultan pendidikan. Yang baru menikah dan langsung dikaruniai beberapa orang anak dari pernikahan suaminya dengan mendiang istri sebelumnya. Dengan jam terbang tinggi dalam dunia pendidikan, dirasanya masih tak sebanding dengan mengasuh anak. Begitu besarnya pengorbanan ibu rumah tangga. Bahkan lebih dari ibu bekerja. Ibu rumah tangga belum tentu mendapatkan apresiasi layaknya ibu bekerja. Selain itu risiko ibu bekerja adalah interaksinya dengan pria yang bisa jadi bencana. Begitu hemat beliau. 
Aku sama sekali tidak bermaksud mengecilkan pilihan yang diambil para ibu yang memutuskan keluar rumah dengan menyadari berbagai konsekuensinya. Apalagi jika “kondisi”mengharuskan ia untuk mengorbankan segalanya demi kehidupan yang lebih baik bagi keluarga dengan berbagai tantangan zaman yang sayangnya semakin tak ramah bagi makhluk bernama wanita. Bagi eksistensi sebuah keluarga yang sesuai dengan fitrah. Begitu pula para wanita yang sudah menemukan jalannya tuk berkontribusi bagi dunia karenaNya. Sekali lagi, bagiku niat itu amat penting.

Semoga Allah mengaruniakan kekuatan bagi para ibu di mana pun yang tengah memperjuangkan makna ibu itu sendiri.
Hanya soal waktu hingga kamu bisa berdaya kembali bagi ummat. Yang penting terus bergerak. Lakukan yang bisa dilakukan meski kecil. Karena peradaban dibangun oleh jiwa-jiwa yang besar bentukan wanita (ibu dan istri) yang bervisi besar lagi berkorban besar. 

“Bukan dari ibu yang “nguplek di dapur aja”, maka untuk saat ini nikmatilah masa-masa bersama anakmu.” Begitu kira-kira nasihat seorang saudari ketika aku curhat. Ya, kita berhak bahagia dengan apa pun kondisi kita dan buah hati kita pun berhak dirawat oleh ibu yang bahagia 🙂
Nak, terimakasih telah hadir dan mewarnai hidup ibu. Mengajarkan ibu banyak hal. Ibu menyayangimu karenaNya.

Dan untukmu para ibu, berbahagialah, bersyukurlah, karena Sang Maha memuliakanmu dengan memperkenankan surga di bawah telapak kakimu.
Sumber gambar

Jejak Wanita

Bismillahirrahmaaniraahiim,
“Di balik (kesuksesan) pria yang besar pasti ada (peran) wanita yang besar” . Sebuah pepatah yang begitu terkenal dan diamini banyak orangyang ternyata hal tersebut bukan hanya retorika belaka.

Beberapa waktu yang lalu hingga kini, saya masih sering menemukan gambar yang manis banget ini beredar di Facebook sehingga membuat saya tertarik untuk membuat tulisan tentang keistimewaan wanita.

Baca lebih lanjut

Rupa Asli Ibunda Kartini

 

Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya

Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka

Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia

Ibu kita Kartini
Putri jauhari
Putri yang berjasa
Se Indonesia

Ibu kita Kartini
Putri yang suci
Putri yang merdeka
Cita-citanya

Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia

Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendeka kaum ibu
Se-Indonesia

Ibu kita Kartini
Penyuluh budi
Penyuluh bangsanya
Karena cintanya

Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia

Lagu yang pasti sudah sangat melekat pada memori kita sejak duduk di bangku sekolah dasar, tentang sosok seorang pejuang yang menggaungkan emansipasi perempuan (karena kata “wanita” dinilai merendahkan perempuan, berasal dari wani ditoto). Namun benarkah kenyataan bahwa perjuangannya akan nasib kaum hawa ini patut disejajarkan dengan “jasa” para feminis? Era Muslim Digest Edisi Koleksi 10 The Untold History (2) : Konspirasi Penggelapan Sejarah di Indonesia mengenai sejarah Indonesia dan Islam. Tulisan ini memberikan gambaran yang lebih arif tentang sosok ibu kita ini. Semoga pembaca sadar bahwa Islam-lah yang sejatinya membawa kita dari kegelapan menuju cahaya…

R. A. Kartini dan Jaringan Yahudi

Kehidupan Raden Ajeng Kartini merupakan kisah penuh tragedi. Bukan semata hidup kartini yang demikian, namun sejarah yang ditulis oleh penguasa telah menunggangi pemikiran-pemikiran untuk maksud yang sama sekali bertentangan dengan cita-cita murni Kartini. Kini kita lihat, betapa emansipasi dan feminisme dijadikan berhala oleh banyak perempuan Indonesia dengan mengatasnamakan Kartini. Padahal bukan itu yang hendak dicapai Kartini.

image

            Kartini berasal dari keluarga bangsawan Jawa, ayahnya RMAA Sosroningrat, merupakan Bupati Jepara. Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara, kandung dan tiri, sekaligus sebagai perempuan tertua. Keluarga Kartini adalah keluarga yang cerdas. Sang kakek, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, menjadi bupati dalam usia 25 tahun. Kakak Kartini bernama Sosrokartono, mampu menguasai 26 bahasa yang terdiri dari 17 bahasa neger-negeri Timur dan 9 bahasa Barat. Kala itu, anak-anak perempuan di jawa tidak ada yang disekolahkan tinggi-tinggi. Menurut tradisi, buat apa perempuan bersekolah tinggi-tinggi, toh nantinya akan ke dapur jua. Sebab itu, walau termasuk ningrat, sekolah formal Kartini hanya sampai tingkat Sekolah Rendah. Walau demikian, Kartini termasuk anak yang cerdas dan berani. Dalam usia remaja, dia tidak ragu memberi kritik dan saran kepada penguasa Hindia Belanda, salah satunya menuntut mereka agar kaum pribumi bisa menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Kartini dan Islam

Sebagai anak dari keluarga bangsawan Jawa yang memeluk Islam, sudah menjadi kebiasaan untuk memanggil guru ngaji ke rumah. Namun yang namanya ‘ngaji’ kala itu ternyata hanya menghafal surat-surat al-Qur’an dalam bahasa Arab dan tidak disertai dengan terjemahannya. Kartini tidak bisa menerima hal tersebut. Dia menanyakan makna dari ayat-ayat yang diajarkan. Bukan jawaban yang didapat, sang guru ngaji malah memarahinya.

Kartini sedih. Kepada sahabatnya, Stella, Kartini menulis surat, 6 November 1899:

“Mengenai agamaku Islam, Stella, aku harus menceritakan apa? Agama Islam melarang umatnya mendiskusikannya dengan umat agama lain. Lagi pula sebenarnya agamaku karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, kalau aku tidak mengerti, tidak boleh memahaminya? Al-Qur’an terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan kedalam bahasa apa pun. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini orang diajar membaca Al-Qur’an tetapi tidak mengerti apa yang dibacanya. Kupikir, pekerjaan orang gilakah, orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibacanya itu. Sama saja halnya seperti engkau mengajarkan aku buku bahasa Inggris, aku harus hafal kata demi kata, tetapi tidak satu patah kata pun yang kau jelaskan padaku apa artinya. Tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang yang baik hati, bukankah begitu Stella?”

Kepada sahabat lainnya, E.E. Abendanon, Kartini menulis surat, 15 Agustur 1902 :

“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlunya dan apa manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al-Qur’an, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya, dan jangan-jangan guru-guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepadaku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya.”

Dahaga Kartini mengenai Islam sedikit mulai terpuasi saat berkenalan dengan KH. Mohammad Soleh bin Umar yang sering disebut Kyai Sholeh Darat. Suatu hari, ketika Kartini bertamu ke rumah pamannya, seorang Bupati di Demak, Pangeran Ario Hadiningrat, waktu itu sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian tersebut bersama para raden ayu yang lain dari balik hijab. Saat itu Kyai Sholeh Darat, ulama besar asal Semarang, tengah menguraikan tafsir Al-Fatihah. Kartini sangat tertarik pada materi tersebut. Usai pengajian, Kartini mendesak pamannya agar mau menemaninya untuk menemui Kyai tersebut. Saat itu terjadi dialog antara Kartini dengan Kyai Sholeh Darat, seperti yang ditulis Ibu Fadhila Sholeh, cucu Kyai Sholeh Darat :

“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?”

Tertegun Kyai Sholeh Darat mendengar pertanyaan Kartini yang diajukan secara diplomatis itu.

“Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?”, Kyai Sholeh Darat balik bertanya, sambil berpikir kalau saja apa yang dimaksud oleh pertanyaan Kartini pernah terlintas dalam pikirannya.

“Kyai, selama hidupku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama, dan induk Al-Qur’an yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras penerjemahan dan penafsiran Al-Qur’an dalam bahasa Jawa. Bukankah Al-Qur’an itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”

image     Sejak pertemuan itu, Kyai Sholeh tergugah untuk menterjemahkan Quran ke dalam bahasa Jawa. Di hari pernikahan Kartini, Kyai Sholeh menghadiahkan kepadanya terjemahan Quran (Faizur Rohman Fit Tafsiril Quran), jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan surat Ibrahim. Sejak itu dimulailah era pembelajaran Kartini terhadap Islam. Namun sayang, sebelum merampungkan semua tafsir Qur’annya, Kyai Sholeh Darat meninggal dunia. Kartini merasa sangat kehilangan gurunya ini.

Setelah Kartini mengenal Islam sikapnya terhadap Barat mulai berubah :

            “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-ha yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?”

[Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902]

Kartini juga menentang semua praktik kristenisasi di Hindia Belanda :

“Bagaimana pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka kristenisasi? … Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata, boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkritstenkan orang. Mungkinkah itu dilakukan?”

[Surat Kartini kepada E.E. Abendanon, 31 Januari 1903]

Bahkan Kartini bertekad untuk memenuhi panggilan surat Al-Baqarah ayat 1993, berupaya untuk memperbaiki citra Islam (yang) selalu dijadikan bulan-bulanan dan fitnah. Dengan bahasa halus Kartini menyatakan :

“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat ummat agama lain memandang agama Islam patut disukai.”

[Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902]

Walau belum utuh dipelajari Kartini, perempuan tersebut langsung menerima ajaran-ajaran Islam yang diketahuinya. Salah satunya mengenai poligami. Awalnya Kartini menolak keras, namun setelah mempelajari Islam, Kartini akhirnya menerima poligami bahkan bersedia menjadi isteri kedua. Ada sebuah ayat yang membekas di hati Kartini yakni QS Al-Baqarah ayat 257 yang menyatakan jika Allah-lah yang membimbing orang-orang beriman dari gelap kepada cahaya (Minazh-Zhulumaati ilan Nuur), sebab itu dia memberi judul kumpulan tulisannya mengutip ayat tersebut. Hanya saja, karena ditulis dalam bahasa Belanda “Door Duisternis Tot Licht”, maka oleh Armijn Pane, seorang Kristen, diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Suatu perumpamaan yang kurang tepat.

image

            Diam-diam, Hindia Belanda, mengirim orang-orang Yahudi dan Nasrani kepada Kartini agar mampu mengarahkannya agar tidak menjadi kritis, apalagi tumbuh menjadi pemimpin umat. Ini yang tidak diinginkan Belanda. Orang-orang ini adalah :

  • J.H. Abendanon dan E.E. Abendanon (Ny. Abendanon)

 ABENDANON.jpg picture by AsetoW

Dia tiba di Hindia Belanda pada 1900 dengan tugas melaksanakan Politik Etis. Direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan Hindia Belanda ini sahabat dekat Snouck Hurgronje. Bersama Hurgronje, Abendanon melancarkan Politik Asosiasi, agar generasi muda Islam mengidentifikasikan dirinya dengan Barat. Menurut mereka, umat Islam-lah yang paling keras permusuhannya terhadap penjajahan. Sebab itu, generasi muda pribumu harus diBaratkan, yang harus dimulai dari kalangan ningrat. Hurgronje menyarankan Abendanon untuk mendekati Kartini. Dengan misi itulah Abendanon membina hubungan baik dengan Kartini.

  • Dr. Adriani

Seorang pendeta sahabat Abendanon yang diperkenalkan kepada Kartini sewaktu Kartini diundang ke Batavia.

  • Annie Glasser

Seorang tangan kanan Abendanon yang disusupkan ke Jepara sebagai guru bahasa Perancis Kartini. Dia tidak dibayar asalkan bisa berhubungan dekat dengan Kartini.

  • Stella (Estelle Zeehandelaar)

Seorang perempuan Yahudi Belanda yang berhaluan feminis militan. Dia bersahabat dengan tokoh sosialis, Ir. Van Kol, wakil ketua SDAQ (Partai Sosialis Belanda) di Tweede Kamer (Parlemen).

  • Nellie Van Kol (Ny. Van Kol)

image

Seorang penulis humanisme progresif yang paling berperan dalam mendangkalkan aqidah Kartini. Awalnya, dia ingin mengkristenkan Kartini, namun gagal secara formal. Walau demikian banyak pemikiran Kristen yang sedikit banyak mempengaruhi Kartini, seperti suratnya tertanggal 12 Juli 1902 kepada Ny. Ovink Soer:

“Malaikat yang baik beterbangan di sekeliling saya dan Bapak yang ada di langit membantu saya dalam perjuangan saya dengan bapakku yang ada di dunia ini.” Atau “Nonya Van Kol banyak menceritakan kepada kami tentang Yesus yang tuan muliakan itu, tentang rasul-rasul Petrus dan Paulus, dan kami senang mendengar semua itu.”

[Surat kepada Dr. Adriani, 5 Juli 1902]. (fz)

Baca juga…